BIC menerima "forward" dari seorang aktivis inovasi, yang berisi tulisan atau ulasan di sebuah media digital dengan judul yang provokatif: "Ribuan riset dan paten Indonesia terjebak di “jurang maut” karena tak dipakai industri". Ulasan tersebut ditulis oleh duo: Dr. Desideria Cempaka Wijaya Murti, M. S.Sos, M.A., Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Dr. Alfian Helmi, S.KPm., M.Sc. seorang Dosen di Fakultas Ekologi Manusia, IPB University. Pada dasarnya para penulis menyimpulkan bahwa sekalipun Indonesia telah menghasilkan ribuan inovasi tiap tahun, tapi sebagian besar terhenti di laboratorium. Penulis juga menyimpulkan bahwa sekalipun di atas kertas, kolaborasi inovasi global telah dilakukan, namun pada faktanya masih belum banyak yang bermanfaat langsung bagi masyarakat. Untuk itu penulis menekankan pentingnya kita membangun "kurikulum program inovasi" yang berbasis pada kebutuhan industri, dan perlunya peran pemerintah sebagai pembeli pertama hasil riset yang dilakukan.
Berikut tulisan selengkapnya: (sumber: https://theconversation.com/ribuan-riset-dan-paten-indonesia-terjebak-di-jurang-maut-karena-tak-dipakai-industri-263438 )
Indonesia tidak kekurangan talenta dan ide brilian. Setiap tahun, ribuan inovasi lahir dari kampus dan lembaga penelitian di Tanah Air. Namun, hanya segelintir inovasi yang benar-benar sampai ke masyarakat atau diterapkan industri. Sisanya terjebak dalam laboratorium—mati muda di jurang yang dikenal sebagai jurang maut inovasi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) - sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), misalnya, memiliki hampir 600 paten. Tapi hanya sekitar 10 paten yang pernah dilisensikan dan digunakan oleh industri. Mengapa inovasi kita selalu kandas sebelum sampai ke pasar? Penyebabnya beragam. Mulai dari kebijakan riset tidak konsisten, regulasi sering berubah, politik anggaran, rendahnya komitmen industri menjadi offtaker (penyerap) riset, dan kampus yang masih terjebak logika publikasi.
Terjebak jumlah dan peringkat
Pemerintah mencoba menjembatani jurang maut ini dengan berbagai macam program. Misalnya, pada tahun 2021 lahir program Matching Fund Kedaireka. Tercatat ada 427 proposal yang dibiayai pada tahun 2021. Jumlahnya pun meningkat menjadi 1.093 proposal pada setahun berikutnya. Pemerintah mengklaim program ini telah mendongkrak skor University - Industry Collaboration dalam Global Innovation Index dari 53,5 (2020) menjadi 87,4 (2023). Hasilnya, peringkat Indonesia pada Global Innovation Index melonjak dari 87 (2021) ke 61 (2023). Ini menunjukkan bahwa pemerintah masih mengukur keberhasilan dari jumlah proposal dan peringkat indeks global. Akhirnya jumlah produk yang bertahan di pasar atau memberi manfaat langsung pada masyarakat luput dari perhatian. Proyek Matching Fund juga menuai kritik karena masih berhenti di level kolaborasi simbolik: berbagi dana riset, seminar bersama, atau pilot project. Semuanya tak menjamin keberlanjutan pascapendanaan. Banyak mitra industri hanya hadir di atas kertas sekadar memenuhi syarat proposal. Mereka menuliskan kontribusi berbentuk dukungan non-uang—seperti tenaga, ruang, layanan, dan barang—bukan sebagai pengguna nyata inovasi. Sementara itu, universitas kerap menjadikan program ini sebagai ‘jalan pintas’ untuk menambah portofolio kerja sama industri, alih-alih benar-benar mengawal inovasi hingga komersialisasi.
Banyak riset, sedikit diadopsi pasar
Anggaran riset Indonesia pernah meningkat dari sekitar Rp6,46 triliun pada 2022, menjadi Rp9,38 triliun pada 2023. Ironisnya, dinamika jumlah anggaran riset belum berbanding lurus dengan dampak ekonomi. Kontribusi riset terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya 0,31%. Persentase sumbangan ini jauh di bawah Singapura (2,2%) atau Korea Selatan (4,5%). Sementara itu, beban riset 83% masih berasal dari pemerintah. Industri dan universitas hanya menyumbang 9,15% dan 2,65%. Artinya, industri di Indonesia lebih memilih membeli teknologi asing siap pakai, ketimbang berinvestasi dalam riset domestik.
Kolaborasi negara, perguruan tinggi, dan industri
Kisah sukses iPhone bisa menjadi pelajaran menarik mengenai kerja sama trilateral: pemerintah, perguruan tinggi, dan industri. Ternyata hampir semua teknologi kunci dalam iPhone justru berakar dari riset-riset publik yang didanai negara melalui anggaran pertahanan Amerika Serikat (AS) seperti (internet) dan GPS. Sementara Australia mengelola relasi universitas dengan industri secara sistematis. Mereka mengembangkan kurikulum berbasis industri, inkubator bisnis, kantor yang menerjemahkan pengetahuan untuk tujuan komersialisasi, hingga alur yang jelas dari riset dasar hingga komersial. Hasilnya, Australia bisa menciptakan work integrated learning (program yang menghubungkan mahasiswa dengan perusahaan yang sesuai bidangnya) sehingga lulusan perguruan tinggi bisa cepat terserap pasar. Selain itu, perguruan tinggi Australia juga melatih stafnya soal manajemen inovasi, negosiasi, dan storytelling. Tujuannya agar mereka secara rutin bisa berdiskusi dengan industri untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tidak heran, bila Universitas Adelaide, misalnya, memiliki kerja sama dengan 7000-an lebih mitra industri. Mereka mampu mengaktifkan kemitraan sebagai modal sosial untuk mencegah perguruan tingginya terperosok dalam jurang maut.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia sebenarnya sudah mulai mengadopsi pola ini melalui kurikulum Merdeka Belajar-Kampus Merdeka yang kini bertransformasi menjadi Diktisaintek berdampak. Data menunjukkan bahwa 1,55 juta mahasiswa telah mengikuti program ini sejak 2019. Mereka memperoleh pekerjaan rata-rata 2,4 bulan lebih cepat dengan gaji 1,4 kali lebih tinggi dibanding non-peserta. Ini bukti penting bahwa kurikulum berbasis industri efektif mempersempit jurang inovasi. Hanya, program di Indonesia masih memiliki kelemahan sebab relasi kampus dan industri seringkali sebatas penandatanganan nota kerja sama tanpa tindak lanjut nyata. Akibatnya, transfer pengetahuan, magang bermakna, maupun riset bersama yang seharusnya mengisi ruang kolaborasi tidak berjalan optimal. Untuk menghadapi tantangan jurang maut inovasi di Indonesia, setidaknya ada tiga jalan yang perlu ditempuh:
1. Mengunci inovasi pada pengguna sejak awal
Alih-alih “menawarkan teknologi lalu mencari siapa yang mau pakai”, riset harus dimulai dari pertanyaan: Siapa pengguna saya, apa masalah sehari-hari mereka, apa yang mereka anggap solusi yang layak? Dengan pengguna yang terkunci sejak awal, peluang inovasi “mati muda” jauh berkurang. Sebab, peneliti mengetahui standar mutu apa yang dibutuhkan, industri mengetahui kesiapan teknologi, dan pemerintah mengetahui regulasi apa yang harus dipangkas.
2. Menjembatani bahasa kampus dan industri
Di Australia, program ini dikenal dengan Industry PhD - program doktoral yang menggabungkan penelitian akademis dan aplikasi industri melalui kolaborasi antara universitas, industri, dan terkadang lembaga pemerintah seperti CSIRO. Di Indonesia, program ini bisa diperluas dengan dosen magang industri, kepala ilmuwan di BUMN sektor strategis dan sebagainya. Bisa juga melalui perumusan kurikulum di kampus yang melibatkan industri (co-creation). Intinya adalah bagaimana dunia kampus dan dunia industri bisa menggunakan “bahasa” yang sama.
3. Pemerintah harus berperan sebagai pembeli pertama
Ini bisa dilakukan misalnya dengan membuat kanal "e-catalog - Inovasi Indonesia”. Dengan paket kebijakan di atas, “jurang” akan berubah menjadi jembatan menuju produk yang dipakai, pekerjaan yang tercipta, dan nilai tambah yang mengalir ke negeri sendiri.
Mengatasi jurang maut (The Valley of Death) inovasi bukan hanya soal menambah anggaran atau jumlah publikasi. Yang lebih penting adalah membangun ekosistem inovasi yang terintegrasi, yang mampu menerjemahkan pengetahuan menjadi inovasi nyata.
Catatan BIC:
Bagi pembaca yang berminat pada tantangan hilirisasi hasil riset dan inovasi di Indonesia, silakan klik BLOG BIC , yang memuat berbagai tulisan dan pemikiran terkait upaya mengefektifkan hilirisasi riset dan inovasi di Indonesia. Salam Inovasi !
(KS/050925)
Komentar